SHOPPING CART

close

Lengang

Aku mendongak, melihat ke atas, memastikan hujan telah benar-benar berhenti. Halaman depan terlihat begitu basah, lantai yang licin, dan tanaman yang masih meneteskan satu dua titik air. Aku mengangkatnya, ember putih berisi pakaian basah setelah kucuci. Jumlahnya lima belas—tidak terlalu banyak. Namun jika menunggu matahari muncul, apa yang akan aku kenakan nantinya? Angin, kuharapkan semua padamu.

Aku menyeringai; menatap jemuran di depanku. Terlihat penuh sekali. Aku menyibaknya. Hingga menemukan celah yang lebar. Tepat. Disini aku akan menjemurnya. Aku memulainya; mengangkat baju dari ember satu per satu. Memberi hanger kemudian menggantungnya. Sebagian telah kujemur. Menyisakan sepuluh potong yang masih teronggok bisu. Aku menatapnya dalam diam. Entah kenapa aku mulai bersajak dalam hati.

 

Sosok malaikat yang hidup di daratan,

Tak dapat terbang namun sangat menawan.

Aku tersadar. Kembali menjemur sembari terus melanjutkan sajak itu.

Sorot matanya teduh penuh kepedulian,

Senyumnya tulus penuh dengan kasih sayang.

 

Aku kembali berhenti melakukannya. Sial, bajuku terjatuh. Membuatnya kembali kotor. Aku memungutnya, membawa ke kamar mandi terdekat, membilasnya kemudian membawa kembali menuju jemuran.

 

Pejuang yang selalu menimbulkan pertanyaan.

Tentang semua apa yang ia rasakan;

Sedih, bahagia, kesal ataupun geram.

 

Lagi-lagi aku berhenti. Seekor semut menggigit kakiku. Aku mengebaskannya. Kembali fokus dengan jemuranku.

 

Ia pernah marah, tapi ia tetap tersenyum ramah.

Ia pernah marah, tapi ia masih sempat peduli.

Tuhan memang selalu baik dengan ini.

 

“Woi, ayo makan!” Suara itu mengagetkanku. Kembali lagi aku berhenti.

“Tunggu bentar, tinggal tiga potong.” jawabku sembari melanjutkan.

 

Selalu menjadi garda terdepan

Mempedulikan anaknya, ia dilupakan

Aku ingin melihat wajahnya sekarang

Wajah penuh cahaya bak bulan

Seseorang yang tak ingin kupisahkan

 

Tuntas sudah semuanya. Cahaya matahari kembali terlihat. Rupanya ia tersenyum mendengar suara hatiku. Aku memang sedang rindu ‘ibu’. 3 bulan lebih aku belum melihatnya, terpisah jarak puluhan kilometer. Tapi, aku selalu tahu ia memperhatikanku. Ia selalu tahu keberadaanku. Bahkan sebelum aku mengabarinya. Ia  yang terhebat. Terbaik dari segalanya. Ibu yang tak kenal lelah. Wajahnya selalu terbayang. Membiarkan mataku berderai deras. Terlihat sembab. Aku menaruh emberku. Menatap sekitar.

Lengang.

Author : M. Yafi Dwi Ari K.

 

 

Tags:

0 thoughts on “Lengang

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Info Pendaftaran? Chat with us